
Memahami Magelang Sebagai Bagian Dari Pusaka Dunia
Memahami Magelang Sebagai Bagian Dari Pusaka Dunia
Magelang kota yang indah, penuh dengan pemandangan, di kanan gunung di kiri gunung di tengahpun gunung, itu kota pendidikan kota transit kota ABRI, suasana bersih tertib dan indah, semangat dipandang, gunung Tidar megah, tempat menggembleng taruna, Perwira Negara, Magelang dengan rakyatnya mensukseskan pembangunan, ABRI dan rakyat bersatu padu, Negeri aman jaya...
Magelang kota yang indah, penuh dengan pemandangan, di kanan gunung di kiri gunung di tengahpun gunung, itu kota pendidikan kota transit kota ABRI, suasana bersih tertib dan indah, semangat dipandang, gunung Tidar megah, tempat menggembleng taruna, Perwira Negara, Magelang dengan rakyatnya mensukseskan pembangunan, ABRI dan rakyat bersatu padu, Negeri aman jaya...
Itulah sebuah
lagu berjudul ‘Magelang Kota yang Indah’ yang diciptakan oleh Sukimin Adiwiratmoko, seorang budayawan asli Magelang. Kini, lagu tersebut
menginspirasi para generasi muda aktifis pecinta heritage yang ada di Kota
Magelang untuk terus menjaga dan melestarikan gedung-gedung tua yang ada di
Kota Gethuk ini.
Sebuah diskusi digelar
di gedung Museum Badan Pemeriksa Keuangan di kompleks eks Karesidenan
Kedu, Kota Magelang dengan mengangkat
tema Remboeg Kota Toea, Memahami Magelang Sebagai Bagian Dari
Pusaka Dunia, Minggu (18/9). Pemerhati
sekaligus peneliti heritage, Wahyu Utami mengatakan, perlu adanya pelestarian
gedung-gedung tua di Kota Magelang.
“Di Eropa, gedung-gedung tua dilestarikan
dan menjadi kebanggaan negara tersebut. Sedangkan di sini justeru dihancurkan. Ini sangat disayangkan,” katanya.
Menurutnya, pemangku
kekuasaan harus benar-benar memerhatikan aspek sejarah dalam melakukan pembangunan
daerah. Jangan hanya mementingkan nilai komersil semata, dengan menghancurkan bangunan
yang menjadi icon dan mengandung nilai historis pada daerah tersebut.
“Boleh saja
melakukan pembangunan dari gedung-gedung bersejarah. Namun jangan sampai
merubah arsitek asli,” tegasnya.
Untuk mengembangkan
sebuah tempat bersejarah, tidak harus merubah gedung tertentu menjadi model
tata ruang yang baru. Namun masih banyak cara lain untuk memanfaatkannya dan
tetap melestarikannya.
Ia mencontohkan,
adanya gedung Karesidenan Kedu
yang saat ini masih kokoh berdiri dan masih asli, seharusnya bisa
dikembangkan menjadi pusat aktifitas masyarakat. Karena gedung tersebut memiliki nilai sejarah yang
tidak bisa lepas dari berdirinya bangsa ini. Bahkan, komplek ini pada tahun 1970an
juga pernah menjadi bagian
dari kampus UGM Yogyakarta.
“Tidak perlu menyelenggarakan even penting di hotel-hotel berbintang, tapi di tempat-tempat dan gedung-gedung tua seperti ini juga sebenarnya tidak kalah elegan,” ujar Utami.
“Tidak perlu menyelenggarakan even penting di hotel-hotel berbintang, tapi di tempat-tempat dan gedung-gedung tua seperti ini juga sebenarnya tidak kalah elegan,” ujar Utami.
Magelang menurutnya
memiliki nilai sejarah yang tinggi baik sejak zaman mataram kuno hingga zaman
perjuangan. Utami menyebutkan, ada beberapa heritage yang tercatat di Magelang,
antaralain, Magelang merupakan daerah perdikan, daerah Sima, Kademangan pada
zaman Mataram Baru, Ibu Kota Kadipaten, Ibu Kota Karesidenan, Kota Militer, Distrik Magelang, dan Kota Praja Magelang.
Utami mengatakan, legenda gunung tidar itu merupakan haritage yang tidak bisa dilupakan. Keberadaan Kyai Sepanjang di puncak gunung tidar juga masih belum terungkap hingga kini. Kemudian keberadaan kantor Karesidenan Kedu yang menghadap ke arah barat mengarah ke lembah Gunung Sumbing dan Sindoro, selain bertujuan untuk mengawasi pergerakan para gerilyawan juga untuk membuktikan bahwa Magelang merupakan daerah yang memiliki keindahan alam yang luar biasa.
Utami mengatakan, legenda gunung tidar itu merupakan haritage yang tidak bisa dilupakan. Keberadaan Kyai Sepanjang di puncak gunung tidar juga masih belum terungkap hingga kini. Kemudian keberadaan kantor Karesidenan Kedu yang menghadap ke arah barat mengarah ke lembah Gunung Sumbing dan Sindoro, selain bertujuan untuk mengawasi pergerakan para gerilyawan juga untuk membuktikan bahwa Magelang merupakan daerah yang memiliki keindahan alam yang luar biasa.
“Tidak
salah dalam sebuah literatur
tercatat antara Malang, Magelang, dan Bandung itu merupakan kota yang memiliki standar strategis sama,” ujarnya.
Sekarang,
lanjutnya, memang banyak bangunan yang bagus dan memiliki nilai pengembangan ekonomi cukup strategis, tapi yang sangat
disayangkan kenapa bangunan lama harus dihancurkan? Kemudian seluruh bangunan itu milik siapa dan menjadi tanggungjawab
siapa? Dalam hal ini yang
bertanggungjawab adalah pemerintah daaerah, karena dialah yang memiliki
kewenangan.
Anggota Komisi C DPRD
Kota Magelang, Edy sutrisno
mengatakan, memang pemerintah daerah Kota Magelang saat ini sudah membahas tata ruang wilayah melalui Perda
RT/RW yang dikonsep oleh Disporabudpar, dan saat ini
Perda tersebut sedang digodok di dewan.
“Namun dalam
rancangan perda tersebut tidak ada draft yang mengatur dan melindungi keberadaan kota tua atau
gedung-gedung tua yang ada di berbagai tempat di Kota Magelang,” katanya.
Untuk itu, imbuhnya,
masyarakat perlu memberikan masukan dan pengawalan terutama para komunitas dan pemerhati kota tua di Magelang agar jangan sampai peraturan tersebut menghilangkan
nilai sejarah yang ada di Kota ini.(had)