• All
  • Seni Budaya
  • Gosip
  • Hukum dan Kriminal
gravatar

Rumah Gebyok Menjadi Saksi Perjuangan Rakyat Magelang



Begawan Tinggal di Bekas Markas Gerilyawan

MAGELANG –  Di Dusun Ngabean, Desa Trasan, Kecamatan Bandongan, Kabupaten Magelang, terdapat rumah kuno yang hingga kini masih asli baik dari arsitektur bangunan, maupun barang-barang yang terdapat dalam rumah tersebut. Rumah Gebyok ini merupakan saksi sejarah kegigihan perjuangan para tentara Indonesia bersama rakyat melawan penjajah saat Agresi Militer Belanda 1, tahun 1945-1948 di Magelang.

Rumah tersebut adalah milik Bagawan Gita (47), ia merupakan keturunan ketiga dari kakeknya, Ahmad Suro Sumarto yang pada masa perjuangan menjabat sebagai Lurah di Desa Trasan. Menurut penuturan Bagawan, yang saat ini juga menjabat sebagai Kepala Desa Trasan, rumah ini dijadikan sebagai markas sekaligus penyusunan strategi para gerilyawan untuk melawan Belanda yang berada di Kota Magelang, berjarak sekitar dua kilometer arah barat laut.

Begawan juga menceritakan betapa heroiknya masa perjuangan saat itu. Ia sendiri mengetahui cerita tersebut dari kakeknya. “Jadi saat itu, rumah inilah yang dijadikan markas tentara gerilyawan untuk menyerang Belanda yang ada di Kota Magelang. Setiap malam para gerilyawan berkumpul di sini untuk mengatur strategi, kemudian siangnya mereka bersembunyi ke gunung Sumbing, karena setiap menjelang siang selalu ada operasi dari tentara Belanda ke rumah ini,“ ungkapnya.

Rumah yang diperkirakan dibangun sekitar tahun 1920-an ini, juga sempat dijadikan sebagai tempat pengungsian sementara kantor Pengadilan Negeri Kota Magelang, pada tahun 1947.

Begawan menegaskan, tidak ada yang dirubah sedikitpun pada rumah ini, hanya genteng dan lantai bagian dalam saja yang di rubah, selebihnya masih asli. Bentuk juga posisi benda yang ada juga tidak pernah dirubah. Dinding kayu jati, berlantai ubin serta beratap anyaman bambu ini di bagian halaman terdapat taman yang ditumbuhi berbagai jenis tanaman, dan juga terdapat patung Pangeran Diponegoro.

“Saya tidak akan merubah rumah ini. Akan saya rawat sampai akhir hayat, karena ini menjadi rumah pusaka bagi keluarga saya, dan bukti sejarah perjuangan bangsa ini,” ujar Bagawan.
Begawan mengaku untuk merawatnya hanya membersihkan bagian-bagian tertentu, namun tidak pernah memperbaikinya. Hal itu sengaja ia lakukan karena bangunan yang ia huni bersama istri dan kedua anaknya ini terbukti masih kokoh.
“Mungkin saat itu Belanda memang sengaja tidak merusak rumah ini, karena saat itu rumah ini adalah salah satu bangunan yang berfungsi untuk pemerintahan. Pada jaman dulu kan rumah Lurah juga sekaligus Kantor Desa,” ungkapnya.

Uniknya, walaupun tetap dihuni, berbagai peralatan antaralain empat set meja kursi,dan beberapa benda lainnya tidak pernah dipindahkan dari tempat aslinya. Benda-benda itu juga sering ditawar oleh para kolektor barang antik, namun selalu ia tolak. Karena bagi Bagawan rumah ini mengandung arti sejarah yang tinggi.
Saat ini, rumah ini juga sering dijadikan sebagai tempat berkumpulnya para teman dekat Begawan, karena saat berada di rumah tersebut, hawa sejuk, tenang dan nyaman begitu terasa.

Kepala Bidang Sejarah, Museum dan Purbakala, Bahasa dan Film, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Magelang, Djoni Susmiyanto mengatakan memang Rumah Gobyok tersebut saat ini telah ditetapkan sebagai benda cagar budaya Kabupaten Magelang sejak tahun 2009 lalu.

“Alasannya karena rumah itu menjadi markas tentara dan bukti perjuangan rakyat Magelang dalam melakukan perjuangan melawan penjajah pada agresi militer Belanda 1,” tandasnya.

Saat ini, lanjut Djoni, berkas rumah tersebut sedang proses pengajuan ke Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jateng agar tempat tersebut diakui, sehingga nantinya akan mendapatkan biaya perawatan. Selain rumah gobyok, juga ada rumah Joglo, dan Wayang Kedu yang ada di Desa Karangrejo, Kecamatan Borobudur yang dalam proses pengajuan.

Pihaknya juga sedang melakukan pendalaman terkait siapa tokoh perjuangan yang ikut dalam gerilyawan tersebut. Pada tahun depan, rencananya sejarah perjuangan ini akan dibukukan. “Saat ini sedang dicari kebenarannya, siapa tokoh perjuangan itu. Sekarang masih dalam proses pendalaman, jadi  kami belum bisa mengungkapkannya karena menyangkut nama tokoh,” ujarnya.(had)

Suwito Trauma Akibat Siksaan Tentara Belanda
Suwito merupakan paman tertua Begawan Gita dari ayahnya, Suro Sumarto. Saat masa perjuangan, Suwito yang masih berumur 15 tahun menjadi salah satu korban penyiksaan tentara Belanda saat menggelar operasi di rumah yang dijadikan markas para gerilyawan pribumi itu.

Menurut penuturan Begawan Gita, menjelang fajar, kakeknya Suro Sumarto seperti biasa mengantar para gerilyawan bersembunyi ke pegunungan Sumbing dan sekitarnya. Ternyata, salah satu anaknya, Suwito tertinggal di rumah tersebut sendirian. Naas, ketika tentara Belanda datang tanpa sengaja menemukan salah satu benda yang dicurigai milik gerilyawan.

Karena Suwito tidak mau menunjukkan siapa pemilik benda tersebut dan tidak mau menunjukkan ke mana arah perginya para gerilyawan, akhirnya ia disiksa hingga berlumuran darah. Tak lama, Suro Sumarto pulang dengan tergopoh-gopoh melihat putranya disiksa. Dengan berbagai cara, akhirnya Suro Sumarto berhasil menipu Belanda, bahwa benda tersebut adalah miliknya.

“Sejak kejadian itu, hingga menginjak usia senja, pak Suwito ketika mendengar keributan selalu merasakan ketakutan. Ia trauma hingga menjelang tutup usia beberapa tahun yang lalu,” ujar Bagawan.
Bagawan mengaku mempunyai banyak cerita tragis dan mengharukan tentang masa perjuangan pada rumah yang ia tinggali sejak kecil dan kini menjadi warisan dari kakeknya tersebut.(had)


NEWSANALYSIS
Drs Sutrisman (Sejarawan dan Budayawan Magelang)

Wilayah Bandongan dari kacamata militer merupakan posisi strategis untuk melakukan penyerangan pada Belanda, yang berpusat di wilayah Kota Magelang. Karena keberadaannya yang dibatasi dengan sungai Progo, sedangkan sungai sendiri dalam strategi peperangan adalah salah satu elemen penting dalam sistem pertahanan dan juga menjadi benteng pertahanan dari alam. Dan posisi Bandongan itu sangat tepat dibanding dari daerah lain.
Adanya gunung Tidar sendiri merupakan salah satu tempat strategis bagi Belanda untuk melakukan pengawasan apabila ada serangan dari berbagai penjuru. Namun apabila dilihat, posisi Bandongan dari Gunung Tidar sendiri cukup terlampau jauh, sehingga pengawasan para tentara belanda tidak bisa menjangkaunya.

Kemudian Bandongan sendiri secara alamiah adalah kaki alam dari berbagai pegunungan di sekitarnya. Dan untuk menghubungkan antara Bandongan dengan Kota Magelang, jalan satu-satunya adalah jembatan, padahal saat itu jembatan tersebut masih kecil, belum begitu besar seperti saat ini. Tentunya para tentara Belanda akan berfikir ulang untuk melewati jembatan itu ketika berlangsungnya pertempuran.

Selain itu, adanya tokoh-tokoh masyarakat setempat di antaranya Kiai Arof yang begitu gigihnya menentang Belanda, merupakan nilai tambah untuk menunjang kekuatan tentara saat itu, tentunya dengan dukungan masyarakat sekitar.

Jadi, ini merupakan bukti keterkaitan antara Kota dan Kabupaten tidak bisa dipisahkan, karena saat itu pusat kekuatan Belanda ada di Kota Magelang, sedangkan perlawanan para pejuang berasal dari wilayah Kabupaten Magelang.

Terkait keberadaan rumah gobyok di Bandongan yang dijadikan sebagai markas perlawanan tentara pribumi, itu merupakan saksi sejarah yang sangat penting dan keberadaannya perlu dilestarikan. Sudah sepatutnya dari pihak pemerintah memberikan perhatian berlebih pada bangunan itu.(had)