• All
  • Seni Budaya
  • Gosip
  • Hukum dan Kriminal
gravatar

Anak-anak Gunung Orasi Negara Sandal Jepit

Sandal, walau hargamu miliaran, takdirmu tetap diinjak, tapi kini kau mampu membuat anak negeri masuk bui, hukum apa ini?

Itulah penggalan puisi yang dikarang oleh salah satu anak lereng Gunung Merapi yang juga menjadi korban bencana banjir lahar dingin, Atika.

Saat membacakan puisinya, ia memakai ratusan sandal japit bekas yang dirangkai menjadi kostum. Mahkota yang dikenakannya pun juga terbuat dari sandal. Selain Atika, puluhan anak-anak lainnya juga membuat karya replika wayang yang terbuat dari sandal.

Satu persatu mereka menampilkan aksinya. Dengan penuh penghayatan dalam memainkan wayang sandal bekas, seolah-olah mereka benar-benar kecewa dengan hukum di Negara ini yang telah memvonis seorang anak di Palu, Sulawesi Tengah hanya karena mencuri sandal butut milik seorang pelayan masyarakat (Briptu Ahmad Rusdi Harahap, anggota Brimob Polda Sulteng-red).

Dalam pementasan yang berdurasi sekitar 60 menit yang digelar pada Minggu (8/1) sore di panggung alam Studio Mendut, Kabupaten Magelang tersebut, menampilakan dua puisi yang berjudul  tangisan sandal, dan lahar sandal buset  yang dikarang oleh Atika.

Selain menampilkan karya puisi, juga ditampilkan tarian sandal, tumpeng sandal, tembang sandal, mantra sandal, orasi sandal, dan instalasi sandal.

Dalam orasi sandal yang disampaikan oleh Atika dan anak-anak lainnya, secara bergantian mereka menyampaikan sindiran pada penguasa yang tidak mempedulikan rasa. Hanya karena sandal bekas bisa masuk penjara.

Di pertengahan acara, anak-anak tersebut juga melakukan razia rokok pada para puluhan penonton yang sebagian besar para seniman Komunitas Lima Gunung (KLG) dan tamu undangan. Karena, sebelumnya telah diadakan perjanjian bahwa selama pementasan dilarang merokok.

"Kalau mendidik anak harus yang baik, kalau orangtua saja tidak mendidik yang baik dengan cara merokok, maka anaknya juga tidak baik," ungkap seorang anak melalui pengeras suara, sembari puluhan anak lainnya merazia saku-saku penonton.

Di akhir pementasan, seluruh anak-anak dan personel serta penonton turun ke panggung alam dan bernyanyi, berlarian berputar-putar dengan menyuarakan tembang sandal jepit. Seolah mereka menertawakan para abdi Negara yang memperkarakan sorang anak ke meja hijau hanya karena sandal jepit bekas.

Pimpinan Padepokan Tjipto Boedojo, Sitras Anjilin mengatakan, masyarakat terutama para orangtua mengira anak-anak  itu bodoh. Tapi tenyata anak sekarang lebih cerdas dan tau apa saja. “Maka kita perlu belajar dan memperhatikan mereka. Tentunya kita harus berhati-hati dalam bertindak. Sejatinya anak-anak sudah bisa mengetahui dan membedakan mana yang baik dan mana yang buruk,” katanya.

Ia juga yakin bahwa generasi saat ini pasti akan lebhi maju di masa depan. Sayangnya, pendidikan di sekolah hanya mengajarkan materi semata tanpa mengajarkan moral sebagai pondasi. Sebagai orangtua, harus benar-benar memberikan suritauladan yang baik demi kepribadian dan karakter anak.

“Yang membuat saya kagum adalah ternyata anak-anak yang berasal dari gunung ini lebih paham dengan perkembangan situasi yang ada di Negara dan kemasyarakatan. Tampaknya media massa menjadi peranan penting untuk mendidik dan membentuk karakter bangsa di masa depan,” katanya.

Pimpinan seniman dari Gunung Andong, Sutadi yang kebetulan hadir dalam pentas tersebut menambahkan, pencuri sandal hanya seorang anak yang kepentingannya bukan untuk harta tapi hanya iseng saja. Tapi kenapa para oknum aparat itu bisa mengajukannya ke meja hukum dan divonis bersalah.


“Negeri ini sungguh tidak punya hati nurani dan sudah rusak moralnya. Kenapa koruptor yang jelas-jelas mencuri uang negara triliunan tidak diapa-apakan. Mereka bebas berkeliaran jalan-jalan dan berbelanja, sungguh memprihatinkan,” keluhnya.(had)