• All
  • Seni Budaya
  • Gosip
  • Hukum dan Kriminal
gravatar

Ratusan Tumpeng Berarak di Lereng Gunung Andong




MAGELANG – Menyambut bulan Shafar dalam penanggalan Jawa, warga Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang menggelar tasyakuran dengan cara ritual Perti Dusun, Rabu (4/1).

Tepat pukul 07.15, kentongan pun dipukul sebagai pertanda dimulainya ritual. Ratusan nasi tumpeng berbalut bunga mawar merah yang ditaroh di atas kayu bambu di sepanjang jalan dusun lereng Gunung Andong tersebut pun sudah tertata.

Sementara para warga setempat mulai menyiapkan ayam ingkung beserta perlengkapan ritual di depan rumah masing-masing. Karena, setiap keluarga diwajibkan mengeluarkan satu ingkung ayam jago dan tumpeng. Di dusun lereng Gunung Andong atau sisi barat daya Gunung Merbabu tersebut terdapat sebanyak 160 keluarga atau sekitar 850 jiwa.

Tumpeng terbesar yang disebut dengan tumpeng jongko berisi hasil panen penduduk, dipanggul oleh empat orang kemudian dikirab dari ujung dusun yang dipimpin oleh tokoh masyarakat setempat. Setiap rumah yang dilewati tumpeng ini, harus mengikuti di belakangnya dengan membawa ingkung masing-masing.

Kirab sendiri menempuh jalan dusun sepanjang ratusan meter yang berujung di rumah Kepala Dusun Mantran Wetan. Rumah Kadus tersebut merupakan rumah yang paling dekat dengan Gunung Andong.
Seorang warga, Muh Roni (72) mengatakan, bahwa persyaratan utama dalam ritual yang sudah dijalankan sejak nenek moyang tersebut adalah ingkung ayam jantan kampung.

“Harus ayam jago karena itu sudah tradisi sejak dulu. Kita tidak berani menolaknya,” katanya.

Setelah dikirab dan berkumpul di halaman rumah Kadus, doa pun digelar. Seusai ritual, warga membawa pulang kembali ingkung beserta tumpeng, namun harus meninggalkan satu paha ayam yang nantinya akan dibuat sesajen di lima tempat yang dianggap sakral oleh penduduk.

Lima tempat tersebut antaralain Kali Curah, Kali Bangkong, sumber mata air Sikendil, kolam air Talang, dan satu sesaji di taruh di atap rumah Kadus. Dalam setahun, acara serupa digelar sebanyak empat kali antaralain ruwahan, mauludan, rajaban, dan saparan.

Menurut tetua dusun setempat, Kasmari (82), ritual yang digelar dengan tujuan untuk mengucapkan syukur pada sang pencipta ini terdapat tumpeng jongko yang merupakan terbesar dari ratusan tumpeng lainnya. Tumpeng ini memiliki makna besarnya permintaan dan banyaknya ungkapan terimakasih pada Tuhan.

Ia mengatakan, ritual tersebut digelar setiap bulan Shafar dan jatuh pada hari Rabu Pahing. “Selain hari itu kita tidak berani karena takut dengan Sengkolo (malapetaka). Dulu pernah kita lakukan di lain hari itu, tapi ternyata banyak musibah di kampung ini,” katanya.

Musibah tersebut, lanjutnya, berupa gejolak di tengah masyarakat, nasi yang baru dimasak tiba-tiba menjadi busuk, penghasilan pertanian terpuruk, dan muncul penyakit aneh. “Akhirnya saat itu kita menyelenggarakan ritual penebus kembali,” ujarnya.

Ia mengungkapkan, di dusun tersebut menurut cerita turun temurun, terdapat sebuah kerajaan yang cukup besar yang kini hanya tinggal petilasan berupa potongan batu endesit. Sedikitnya terdapat dua petilasan yang disakralkan.

Selain itu, katanya, ritual ini juga untuk menghormati seorang tokoh penyebar agama Islam yang makamnya terdapat di puncak Gunung Andong yakni makam Kiyai Abdul Faqih ( Joko Pekik).

Setelah acara ritual kirab, pada siang harinya digelar pentas seni yang menampilkan kuda lumping empat jaran. “Kuda lumping itu dari dulu jumlahnya harus empat. Kudanya juga dari dulu tidak pernah diganti,” katanya.

Dalam ritual ini selain digelar kirab tumpeng dan pentas seni, setiap rumah juga diharuskan menyediakan makanan suguhan untuk tamu layaknya hari raya Idul Fitri bagi umat Islam. “Setiap rumah juga wajib menyediakan hidangan seperti saat hari raya. Bahkan kalau di sini meriahnya malah melebihi hari raya,” imbuhnya.

Ia berharap, dengan digelarnya ritual yang bertajuk Ngudi Kautaman ini, segala permohonan warga dikabulkan, dan dijauhkan dari segala kesusahan oleh sang pencipta.(had)

Akan Tetap Dilestarikan Hingga Akhir Zaman
Ritual tasyakuran kirab ratusan nasi tumpeng dan ingkung di Dusun Mantran Wetan , Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak yang merupakan tradisi dan budaya warisan leluhur ini akan tetap dilestarikan dan dijaga oleh warga.

Kepala Dusun Mantran Wetan, Handoko mengatakan, syukuran ini adalah sebagai wujud ungkapan terimakasih pada sang pencipta yang telah memberikan kehidupan pada warga Dusun Mantran Wetan.

Selain itu, di negara ini telah banyak masuk berbagai kebudayaan barat yang tidak tersaring dan sangat bertentangan dengan nila-nilai leluhur bangsa. Maka sebagai masyarakat yang peduli akan budaya leluhur, sudah menjadi kewajiban untuk terus melestarikan tradisi ini secara individu, dan tidak perlu mengandalkan orang lain.

“Kita harus tetap melestarikan budaya dan tradisi ini sampai akhir zaman apapun rintangannya,” tegasnya.

Tokoh masyarakat Dusun Mantran Wetan, Sutadi menambahkan, tema tahun ini yakni Ngudi Kautaman tersebut memiliki tujuan bahwa dalam satu tahun ke depan seyogyanya para penduduk tetap mempertahankan tradisi leluhur. Tujuan lain adalah agar warga dapat mencari yang terbaik dalam beragama, berkarya dan berbudaya. Kemudian juga mampu menjaga keselarasan alam dan menjaga hubungan baik antar sesama makhluk.

“Kita percaya adanya barang ghoib di alam ini, maka kita perlu menghormatinya karena mereka adalah sama-sama makhluk sang pencipta. Kita juga memiliki kewajiban menjaga ekosistem alam yang menjadi sumber kehidupan bagi manusia,” katanya.

Ia menambahkan, kegiatan ini juga sebagai bentuk menjaga kebersamaan warga serta menjaga persatuan dan kesatuan.(had)

Newsanalysis :
Sutanto
(Budayawan Magelang)

Kesenian dan kebudayaan harus tetap hidup seluruh penjuru daerah di nusantara. Namun kesenian itu harus berjalan dan mengalir dengan sendirinya tanpa meminta bantuan dari pemerintah. Karena bantuan dari pemerintah biasanya akan menimbulkan konflik yang diakibatkan tindakan korupsi. Dan kesenian dan kebudayaan harus bersih dari dari tindakan itu.

Acara semacam ini hanya ditemukan di desa-desa. Di acara yang diselenggarakan oleh pemerintah pun belum tentu mampu menyiapkan ratusan tumpeng dan ratusan ingkung. Ini adalah kekuatan masyarakat sejati, dan penentuan sikap warga ini perlu didukung.

Kemudian adanya doa-doa yang digelar dalam ritual ini, perlu diketahui bahwa sebuah doa itu adalah naluri manusia kepada masing-masing penciptanya dan itu hak yang tidak bisa dicegah, karena ini bentuk hubungan vertikal mereka.

Dalam acara semacam ini juga terlihat hubungan yang rukun antar sesama warga di lingkungannya. Tentunya nilai vertikal ini tidak bisa dilihat dari sektor ekonomi semata. Karena kalau dihitung, dengan tingkat ekonomi warga yang rata-rata berpenghasilan minim ternyata mereka dengan sukarela mengeluarkan biaya untuk memasak tumpeng dan ayam.

Sebagai penandasan, desa adalah salah satu budaya alami dan lengkap yakni tidak pernah melupakan tradisi yang diwariskan oleh leluhur. Kalau dilihat, tradisi yang dilakukan di masyarakat seperti ini adalah sebagai bentuk rekaman sejarah yang tidak terbantahkan.(had)