• All
  • Seni Budaya
  • Gosip
  • Hukum dan Kriminal
gravatar

Mengenang Empat Tahun Terbakarnya Pasar Rejowinangun

Peristiwa Sore Itu Tidak Akan Terlupakan

MAGELANG, TRIBUN – Peristiwa kebakaran Pasar Rejowinangun Kota Magelang pada Kamis 26 Juni 2008 lalu hingga Selasa (26/6) kemarin, telah genap berusia empat tahun. Namun sejak peristiwa tersebut hingga kini proses pembangunan pasar yang dijanjikan oleh pemerintah mengalami ketidakjelasan. Derita yang dialami para pedagang korban kebakaran semakin bertambah.

Usai kebakaran, para pedagang oleh Pemerintah Kota Magelang telah ditempatkan di pasar penampungan. Ternyata, dengan kondisi yang serba terbatas, di lokasi yang baru itu para pedagang menghadapi masalah baru yakni sepi dari pembeli.

Salah seorang pedagang pakaian, Sholihan (60) saat ditemui Tribun Jogja di kiosnya di pasar penampungan menceritakan peristiwa yang tidak mungkin ia lupakan seumur hidupnya. Ia ingat betul saat peristiwa kebakaran itu adalah hari Kamis 26 Juni 2008 sekitar pukul 17.30 WIB.

“Saat itu saya ingat betul. Saya menutup kios itu pukul 17.20 WIB. Karena hari Kamis memang saya tutup agak awal. Saya langsung pulang naik angkot, dan ketika sampai di Japunan (Kecamatan Mungkid Kabupaten Magelang_Red) saya ditelpon adik saya Nasirudin (penjahit di pasar_Red) kalau pasar kebakaran,” ungkapnya.

Sholihan mengaku syok dan hanya bisa terdiam ketika mendapat informasi tersebut. Namun, warga Blondo ini tidak langsung kembali ke pasar tapi langsung pulang ke rumah dan memberikan informasi pada istri dan anaknya bahwa pasar kebakaran.

“Saat diberitahu pasar terbakar, saya sudah pasrah. Kalau seandainya saya kembali pun sudah tidak mungkin barang-barangnya bisa diselamatkan,” ujarnya sambil terlihat matanya mulai berkaca.

Sedikitnya, dari total empat kios di Blok E berisi dagangan berupa pakaian yang ia miliki semuanya ludes tanpa tersisa sedikitpun dilalap si jago merah. Diperkirakan kerugian mencapai Rp 150 juta lebih. Laki-laki yang sudah berdagang di pasar sejak tahun 1970 ini, berkali-kali m,engatakan hanya bisa pasrah.

Sebelumnya, Sholihan mengaku memiliki firasat buruk terhadap peristiwa tersebut. Pasalnya, satu minggu sebelum peristiwa telah dipasang stiker bertuliskan bahaya kebakaran. Selain itu, mobil bak sampah selama empat hari tidak masuk pasar, dan sepeda motor tukang sampah yang biasanya lalu lalang, di hari-hari itu tidak nampak satupun.

“Dalam hati saya juga terheran-heran, sebenarnya ada apa ini? Ternyata firasat saya itu terjawab bahwa pasar akan terbakar,” ujarnya.

Setelah musibah itu, ia beserta istrinya Suparni (59) terpaksa memulai usaha dari nol. Bahkan, ia terpaksa menjual sepeda motor bebeknya dengan harga Rp 6 juta sebagai modal usaha di penampungan.

Ternyata, deritanya tidak berakhir di situ. Berselang beberapa bulan, Suparni yang terus meratapi nasibnya terpaksa dirawat di RSUD Muntilan selama dua bulan karena menderita penyakit komplikasi. “Dia setiap saat selalu sedih dan menangis karena dagangan untuk mencukupi kebutuhan keluarga telah ludes tak tersisa. Karena kepikiran terus itu akhirnya dia sakit,” kata Sholihan sambil sesekali mengusap air matanya dengan kaos warna kuning yang ia kenakan.

Setelah menahan sakit sekian lama, Suparni akhirnya dipanggil yang maha kuasa pada 5 April 2012 lalu. Saat ini Sholihan hanya hidup bersama anaknya yang terakhir yang masih duduk di bangku SMP.
Selain istrinya, lanjut Sholihan, ternyata terdapat beberapa pedagang lain yang juga mengalami nasib yang tidak berbeda jauh.

“Setahu saya, sejak kebakaran itu pedagang yang sudah meninggal karena stres lalu sakit itu sudah ada 13 orang. Itu karena mereka terus kepikiran yang diharapkan ternyata habis tak tersisa,” katanya.

Selain terus kepikiran peristiwa kebakaran tersebut, lanjutnya, kondisi di pasar penampungan saat ini sangat sepi. Bahkan, perbedaan yang sangat menonjol dialami Sholihan. Sebelumnya, setiap hari dagangannya minimal dapat terjual 20 potong, tapi di lokasi penampungan ini dapat laku merupakan sebuah berkah.

“Dagangan saya saja sejak Sabtu (23/6) baru laku satu. Itu pun untungnya hanya Rp 10.000. Masyaallah, kita sangat prihatin, harus kuat iman dan tabah, kalau tidak kuat ya sudahlah. Saat ini sudah banyak yang memilih tutup,” tuturnya yang saat ini menempati sebuah kios di Blok A ini, sementara menurutnya sebuah kios di depannya juga sudah tutup sejak setahun lalu oleh pemiliknya.

Ia yang merupakan contoh nasib dari ratusan pedagang lainnya, hanya bisa berharap agar pemerintah segera membangun kembali Pasar Rejowinangun. “Kita hanya bisa pasrah bahwa ini adalah ujian. Kita hanya bisa mengharap pada Pak Wali Kota agar kasihan pada pedagang, dan pasar segera dibangun. Semoga saja dia mendengarnya,” ungkapnya.(had)


SIDEBAR :

Lambatnya proses pembangunan pasar menimbulkan keprihatinan berbagai pihak, bentuknya beberapa elemen masyarakat mulai dari LSM, pedagang menggelar aksi keprihatinan dengan melakukan aksi tabur bunga di bekas bangunan Pasar Rejowinangun, Selasa (26/6) sore.

"Selain pedagang, aksi tersebut kami juga mengajak tokoh masyarakat, akademisi. Selain tabur bunga, kita juga menyalakan lilin sebagai bentuk keprihatinan," kata koordinator aksi yang juga ketua LSM Human Right Defenders, Tutur Agung Nugroho (Begawan Prabu).

Ketua Paguyuban Pedagang Pasar Rejowinangun Magelang (P3RM), Heri Setiawan mengatakan selain bentuk keprihatinan, aksi tersebut juga untuk mengingatkan Pemkot Magelang bahwa betapa besar menderitanya para pedagang karena terkatung-katungnya proses pembangunan pasar.

“Doa bersama dan tabur bunga ini kita ingin menyampaikan sekaligus mengingatkan bahwa tepat empat tahun silam kita mengalami musibah kebakaran pada pasar yang berisi 2.088 kios dan los dan menjadi tumpuan hidup sebanyak sekitar 4.ooo pedagang,” ungkapnya.

Kalau jumlah tersebut adalah kepala keluarga, lanjutnya, maka berapa ribu orang yang menderita akibat kebakaran tersebut. Akibat kebakaran itu, kerugian ditaksir mencapai Rp 100 milyar lebih.

“Kita tidak mungkin melupakan peristiwa yang sangat mengenaskan itu. Bola mata kami masih terbayang betapa besarnya kobaran api itu melalap tumpuan hidup kami. Padahal dagangan itu adalah persiapan untuk menghadapi lebaran,” tandasnya.

Hery juga mengingatkan, bahwa lokasi bekas pasar yang saat ini rata dengan tanah tersebut, sejak sebelum Indonesia Merdeka yakni masa pemerintahan Hindia-Belanda, sudah ada pasar rakyat tersebuyt.

Sementara itu, Selasa siang kemarin DPRD Kota Magelang memanggil investor pembangunan kios, PT Putra Wahid Pratama- PT Kuntjup (JO) Salatiga di ruang sidang paripurna untuk menanyakan proses pembangunan pasar yang selama ini terhenti. Dalam pembukaan rapat tersebut, juga dilakukan aksi mengheningkan cipta dan doa bersama sesaat untuk mengenang musibah ini. Sayangnya, dalam pertemuan tersebut tidak menghasilkan keputusna uyang berarti.(had)

Newsanalysis :
Ketua DPRD Kota Magelang, HM Hasan Suryoyudho.


Imbas dari peristiwa itu sungguh sangat memprihatinkan. Sudah empat tahun berlalu setelah kebakaran itu tapi dampaknya begitu luar biasa. Pasar Rejowinangun itu adalah pusat kegiatan perekonomian masyarakat, banyak yang menggantungkan hidupnya melalui perdagangan di situ. Setelah kebakaran, wajar kalau masyarakat drop dan syok karena itu menjadi tumpuan hidupnya.

Terlebih Pasar Rejowinangun adalah pusat grosir dari berbagai daerah. Setelah kebakaran itu, banyak pemasok dagangan yang biasanya melakukan aktifitas di sana sekarang sudah menyebar di berbagai tempat. Maka kesejahteraan masyarakat pasti anjlok. Imbas besarnya, perekonomian Kota Magelang semakin terpuruk.
Sebelum terbakar, perputaran uang di pasar ini sungguh luar biasa besar. Mulai dari pedagang, kuli panggul, pengamen, tukang parkir dan lain-lain semuanya bergantung dari pasar tradisional itu.

Untuk itu, selama proses rencana pembangunan yang belum jelas itu, pemerintah kota harus membuat program yang tepat agar pedagang bisa kembali bergairah untuk bangkit berusaha. Karena ketika pasar telah dibangun juga tidak menjadi jaminan nantinya akan kembali ramai dan laku. Karena pasar adalah pusat perekonomian publik, dan untuk menggairahkannya butuh waktu yang tidak pendek.(had)